Jumat, 16 November 2012

Tentang Perasaan


Aku beranjak dari ranjang menuju kamar mandi ketika sang fajar mulai menyapa kehidupan. Tiba-tiba langkahku terhenti saat ku menginjak suatu lembaran dengan tinta hitam di atas putih. Lalu aku memungutnya dan saraf sadarku memerintahkanku untuk mengetahui apa yang ada dalam lembaran tersebut. Ternyata itu adalah lembaran diary ibu asuhku.

Dear diary,

Terkadang aku merasa jengkel terhadap perlakuan anak-anakku. Mereka selalu membuat ulah. Aku lelah, jenuh, sakit. Awalnya aku bingung, aku harus berbuat apa. Namun, tanpa kusadari aku telah terbiasa dengan semua ini. Bahkan aku merasa bahwa hidupku tak akan lengkap tanpa keberadaan mereka. Aku mulai bisa membaur dengan kebiasaan mereka yang mungkin tak biasa buatku.

Hati dan perasaanku berkata bahwa ku tak bisa jauh dari mereka. Aku akan bahagia jika mereka bahagia. Aku juga akan merasa kesakitan jika mereka terluka. Mungkin aku hanya bisa merawatnya ketika mereka terluka, menghiburnya ketika mereka bersedih, dan mengeluarkan mereka dari jeratan masalah.

Wahai anak-anakku, maafkan ibumu yang lemah tanpa daya ini yang merasa belum pernah membahagiakan kalian sedikitpun. Ku tak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan kalian. Terima kasih atas segala hal yang telah kalian berikan dan lakukan padaku. Meski aku bukan ibu kandung kalian, tapi aku merasa darahmu telah mengalir dalam diriku. Ku  berharap kalian bisa menjadi anak yang berprestasi dan bisa membahagiakan orang tua kandung kalian. Ku tak ingin orang tua kalian kecewa.

Aku baca kata demi kata. Kucoba pahami apa yang saat ini ada dalam benaknya. Udara sejuk pagi hari telah merasuk dalam sukma jiwaku lewat celah-celah jendela kamarku.
Sejenak air mata ini mengalir, membayangkan wajah ibu asuhku yang selalu setia merawatku dengan segenap tenaganya. Aku pun mengurungkan niatku untuk segera ke kamar mandi. Lalu aku menuju meja belajarku untuk mengambil pena dan buku diaryku. Dan tanpa sadar, tanganku dengan lancarnya menuliskan diary tentang perasaanku pada ibu asuhku layaknya aku membalas surat balasan dari seseorang spesial dalam hidupku.

Dear diary,

Aku merasa kesepian bila tidak ada engkau disisiku, bahkan hidup ini terasa hampa tanpamu. Saat engkau terluka, hidup ku terasa hancur. Tanpa kasih sayang dan perhatianmu mungkin aku gak betah tinggal bersamamu.

Terima kasih atas semuanya, meskipun aku sering membuatmu jengkel tapi aku sayang padamu, meskipun aku sering membuatmu jenuh dan sakit, aku akan tetap selalu mencintai dan melindungi mu, seperti ibu kandung kita sendiri. Awalnya aku merasa tertekan dengan semua peraturanmu, kau memperlakukanku layaknya robot, kau juga selalu marah-marah gak jelas. Tapi aku merasa itulah hal yang mungkin terbaik untukku.

Wahai ibu, maafkan aku jika aku telah membuatmu marah. Karena semua kesalahanku, engkau jadi merasakan itu semua, aku telah menyesali semua perbuatanku padamu. Terima kasih atas semua kebaikanmu padaku. Aku akan merasa bahagia jika berada di dekat mu. Aku akan berusaha untuk membuatmu selalu tersenyum.

“Milaa!! Sudah jam berapa ini? Kamu kok belum berangkat sih?”

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ibu asuhku dan sorot mataku langsung tertuju pada jam beker di atas meja belajarku. Saat itu jam menunjukkan pukul 06.00.

“Iyaa mii... Bentar lagi selsai kok...”

Aku tergopoh untuk segera mandi dan berangkat sekolah. Tapi sialnya aku terpeleset saat keluar gerbang asrama.

“Ah! Gara-gara kulit pisang sialan ini aku jadi pusat perhatian temen-temen.” Gerutuku.

“Makanya kalau jalan hati-hati.” Kata ibu asuhku yang tak kusadari dia sudah berdiri di depan pintu.

“Iya mii... Maaf. Aku berangkat dulu ya mii... Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam!”

0 komentar:

Posting Komentar

 
;