Aku beranjak dari ranjang menuju kamar
mandi ketika sang fajar mulai menyapa kehidupan. Tiba-tiba langkahku terhenti
saat ku menginjak suatu lembaran dengan tinta hitam di atas putih. Lalu aku
memungutnya dan saraf sadarku memerintahkanku untuk mengetahui apa yang ada
dalam lembaran tersebut. Ternyata itu adalah lembaran diary ibu asuhku.
Dear diary,
Terkadang aku merasa jengkel terhadap
perlakuan anak-anakku. Mereka selalu membuat ulah. Aku lelah, jenuh, sakit.
Awalnya aku bingung, aku harus berbuat apa. Namun, tanpa kusadari aku telah
terbiasa dengan semua ini. Bahkan aku merasa bahwa hidupku tak akan lengkap
tanpa keberadaan mereka. Aku mulai bisa membaur dengan kebiasaan mereka yang
mungkin tak biasa buatku.
Hati dan perasaanku berkata bahwa ku tak
bisa jauh dari mereka. Aku akan bahagia jika mereka bahagia. Aku juga akan
merasa kesakitan jika mereka terluka. Mungkin aku hanya bisa merawatnya ketika
mereka terluka, menghiburnya ketika mereka bersedih, dan mengeluarkan mereka
dari jeratan masalah.
Wahai anak-anakku, maafkan ibumu yang
lemah tanpa daya ini yang merasa belum pernah membahagiakan kalian sedikitpun.
Ku tak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan kalian. Terima kasih atas segala hal
yang telah kalian berikan dan lakukan padaku. Meski aku bukan ibu kandung
kalian, tapi aku merasa darahmu telah mengalir dalam diriku. Ku berharap kalian bisa menjadi anak yang
berprestasi dan bisa membahagiakan orang tua kandung kalian. Ku tak ingin orang
tua kalian kecewa.
Aku
baca kata demi kata. Kucoba pahami apa yang saat ini ada dalam benaknya. Udara
sejuk pagi hari telah merasuk dalam sukma jiwaku lewat celah-celah jendela
kamarku.
Sejenak air mata ini mengalir,
membayangkan wajah ibu asuhku yang selalu setia merawatku dengan segenap
tenaganya. Aku pun mengurungkan niatku untuk segera ke kamar mandi. Lalu aku
menuju meja belajarku untuk mengambil pena dan buku diaryku. Dan tanpa sadar,
tanganku dengan lancarnya menuliskan diary tentang perasaanku pada ibu asuhku
layaknya aku membalas surat balasan dari seseorang spesial dalam hidupku.
Dear diary,
Aku merasa kesepian bila tidak ada engkau
disisiku, bahkan hidup ini terasa hampa tanpamu. Saat engkau terluka, hidup ku
terasa hancur. Tanpa kasih sayang dan perhatianmu mungkin aku gak betah tinggal
bersamamu.
Terima kasih atas semuanya, meskipun aku sering
membuatmu jengkel tapi aku sayang padamu, meskipun aku sering membuatmu jenuh
dan sakit, aku akan tetap selalu mencintai dan melindungi mu, seperti ibu
kandung kita sendiri. Awalnya aku merasa tertekan dengan semua peraturanmu, kau
memperlakukanku layaknya robot, kau juga selalu marah-marah gak jelas. Tapi aku
merasa itulah hal yang mungkin terbaik untukku.
Wahai ibu, maafkan aku jika aku telah membuatmu
marah. Karena semua kesalahanku, engkau jadi merasakan itu semua, aku telah
menyesali semua perbuatanku padamu. Terima kasih atas semua kebaikanmu padaku.
Aku akan merasa bahagia jika berada di dekat mu. Aku akan berusaha untuk
membuatmu selalu tersenyum.
“Milaa!! Sudah jam berapa ini? Kamu kok belum
berangkat sih?”
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ibu
asuhku dan sorot mataku langsung tertuju pada jam beker di atas meja belajarku.
Saat itu jam menunjukkan pukul 06.00.
“Iyaa mii... Bentar lagi selsai kok...”
Aku tergopoh untuk segera mandi dan
berangkat sekolah. Tapi sialnya aku terpeleset saat keluar gerbang asrama.
“Ah! Gara-gara kulit pisang sialan ini
aku jadi pusat perhatian temen-temen.” Gerutuku.
“Makanya kalau jalan hati-hati.” Kata ibu
asuhku yang tak kusadari dia sudah berdiri di depan pintu.
“Iya mii... Maaf. Aku berangkat dulu ya
mii... Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
0 komentar:
Posting Komentar