Gapura Bajang
Ratu atau juga
dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu adalah sebuah gapura
/ candi
peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman
keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi
sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu"
tahun 1250 Saka
(sekitar tahun 1328M).
Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai
pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief
"Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan
penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu
kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang.
"Bajang
Ratu" dalam bahasa Jawa berarti "raja
/ bangsawan yang kecil
/ kerdil
/ cacat".
Dari arti nama tersebut, gapura ini dikaitkan penduduk setempat dengan Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dan tulisan dalam Serat Pararaton, ditambah legenda masyarakat. Disebutkan bahwa ketika dinobatkan
menjadi raja, usia
Jayanegara masih sangat muda ("bujang"
/ "bajang") sehingga diduga gapura ini kemudian diberi sebutan
"Ratu Bajang / Bajang Ratu" (berarti "Raja Cilik"). Jika
berdasarkan legenda setempat, dipercaya bahwa ketika kecil Raja
Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya,
sehingga diberi nama "Bajang Ratu" ("Raja Cacat").
Sejarawan
mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci
yang disebutkan dalam Kakawin Negara kretagama: "Sira ta dhinarumeng Kapopongan,
bhiseka ring crnggapura pratista ring antawulan", sebagai pedharmaan
(tempat suci). Di situ disebutkan bahwa setelah meninggal pada tahun 1250 Saka
(sekitar 1328M),
tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah
Jayanegara yang wafat. Jayanegara didharmakan di Kapopongan serta dikukuhkan di Antawulan (Trowulan). Reruntuhan bekas candi
tempat Jayanegara didharmakan tidak ditemukan, yang tersisa tinggal gapura
paduraksa ini dan pondasi bekas pagar. Penyebutan "Bajang Ratu"
muncul pertama kali dalam Oundheitkundig Verslag (OV) tahun 1915.
Menurut buku Drs
I.G. Bagus L Arnawa, dilihat dari bentuknya gapura atau candi ini merupakan
bangunan pintu gerbang tipe "paduraksa" (gapura beratap). Secara fisik
keseluruhan candi ini terbuat dari batu bata merah, kecuali lantai tangga serta ambang pintu
bawah dan atas yang dibuat dari batu andesit. Berdiri di ketinggian 41,49 m dpl, dengan
orientasi mengarah timur laut-tenggara. Denah candi berbetuk segiempat,
berukuran ± 11,5 (panjang) x 10,5 meter
(lebar),
tinggi
16,5 meter, lorong pintu masuk lebar ± 1,4 meter.
Secara vertikal bangunan ini mempunyai 3 bagian: kaki, tubuh, dan atap. Mempunyai semacam sayap dan pagar tembok di
kedua sisi. Kaki gapura sepanjang 2,48 meter. Struktur kaki tersebut terdiri
dari bingkai bawah, badan kaki dan bingkai atas. Bingkai-bingkai ini hanya
terdiri dari susunan sejumlah pelipit rata dan berbingkai bentuk genta. Pada
sudut-sudut kaki terdapat hiasan sederhana, kecuali pada sudut kiri depan
dihias relief menggambarkan cerita "". Di bagian tubuh di atas ambang
pintu ada relief hiasan "kala" dengan relief hiasan sulur suluran, dan
bagian atapnya terdapat relief hiasan rumit, berupa kepala
"kala" diapit singa,
relief matahari, naga
berkaki, kepala garuda,
dan relief bermata satu atau monocle cyclops. Fungsi relief tersebut dalam kepercayaan
budaya Majapahit adalah sebagai pelindung dan penolak mara bahaya. Pada sayap
kanan ada relief cerita Ramayana dan pahatan binatang bertelinga panjang.